Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, Ilmuan Indonesia Yang Mendunia

Encrypting your link and protect the link from viruses, malware, thief, etc! Made your link safe to visit.

Indonesia rupanya punya banyak orang pintar dan berprestasi. Salah satunya adalah Josaphat Tetuko Sri Sumantyo. Josaphat adalah ilmuwan asal Indonesia yang menjadi orang pertama yang membuat satelit radar mikro pertama di dunia.

Josaphat merupakan profesor radar di Chiba University, Jepang. Dia telah merampungkan pembuatan satelit mikro serta sensor circurlarly polarized synthetic aperture radar (CP-SAR). Satelit dan sensor ini dirancang dan dibangun di Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL), Center for Environmental Remote Sensing, Chiba University.

Meski disebut mikro, tapi satelit ini memiliki berat 150 kilogram dan menjadi satelit berbobot ringan pertama di dunia yang membawa sensor radar. Selama ini, satelit radar memiliki berat lebih dari 1 ton. "Bertahun-tahun saya kembangkan teknologi mutakhir lain untuk memperkecil dan mengurangi beratnya hingga sepersepuluh lebih," ujar

Karena kejeniusannya, Josh yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Jepang itu dincar lembaga riset seperti NASA (Amerika Serikat), JAXA (Jepang), ESA (Eropa), dan KARI (Korea Selatan). Josh pun sering terlibat dalam pengembangan teknologi radar dengan lembaga riset terkemuka.

Lulus dari SMA Negeri 1 Surakarta di Solo tahun 1989, kebetulan saya ikut Beasiswa Habibie dan bersaing dengan 15 ribuan orang. Akhirnya terpilih dengan 25 orang lainnya. Saya seangkatan dengan Prof Nurul Taufiqu Rochman, pakar teknologi nano dari LIPI. Sementara Warsito Purwo Taruno (penemu alat pembasmi kanker) kakak kelas saya.

Kemudian tahun 1997 saya kembali ke BPPT karena sejak 1989 berkarier di BPPT. Di BPPT, tahun 1997 sampai 1999 bekerja untuk Lembaga Pertahanan dan Keamanan di Indonesia dan membangun Pusat Latihan dan Pertempuran di Batu Raja. Saya ikut simulasi pertempuran Kopassus. Saat itu Kepala Pusdiklatnya Luhut Binsar Pajaitan.

Tahun 1999 saya kembali ke Jepang, saat itu krisis moneter. Di Jepang, banyak staf peneliti di sana akhirnya ‘dibuang’. Tahun itu saya kembali ke Jepang karena sedang mengambil S3. Kemudian lulus S3 tahun 2002.

Pertengahan tahun 2012, saya mendapatkan kabar lowongan posisi Guru Besar atau Full Professor di CEReS Chiba University. Saat itu saya 41 tahun, sementara osisi guru besar di Jepang biasanya dialokasikan untuk staff yang berumur lebih dari 50 tahun.

Sejak diangkat sebagai Guru Besar pada tanggal 1 April 2013, masih ada waktu tersisa 24 tahun hingga saya pensiun dari Chiba University. Saya ingin meluncurkan setidaknya 6 microsatellite untuk misi observasi bumi dan permukaan planet lain menggunakan radar-radar yang saya ciptakan selama ini.

Saat S1 tahun 1991 sampai 1995 membuat sistem radar bawah tanah sendiri. Kemudian saat S2 juga mengambil hal yang sama. Sementara S3 saya mengembangkan synthetic aperture radar (SAR) sampai saat ini.

Sejak saya belajar di Kanazawa University saat studi di S1 dan S2, maka saya membuat sistem radar sendiri, walau simple yaitu radar bawah tanah atau Ground Penetrating Radar (GPR). Sistem sendiri saya buat saat S1 menggunakan circuit yang sederhana tapi berarus tinggi hingga puluhan ribu Ampere di setiap pulsanya, sehingga dapat menembus lapisan tanah beberapa ratus meter menggunakan loop antenna berdiameter 1 hingga 10 meter.

Berangkat dari hasil penelitian ini, saya ingin tahu proses hantaran gelombang di media tanah kering dan lembab atau basah, karena Jepang dan Indonesia mempunyai musim panas / kering dan hujan, sehingga parameter ini perlu diketahui. Maka saya lakukan simulasi penggunakan metoda finite difference time domain (FDTD).

Metoda ini pada tahun 1990an baru mulai berkembang, dan baru sedikit peneliti yang memulai penelitian menggunakan metoda ini. Saat itu saya lakukan simulasi hantaran gelombang di dua lapisan,yaitu lapisan udara dan tanah, berikut beberapa jenis obyek yang ada di dalam tanah. Simulasi GPR dengan menggunakan FDTD dilakukan saat S2 hingga lulustahun 1997.

Pada saat masuk ke program S3, mencari laboratorium yang dapat mengembangkan diri sendiri, maka saya pilih salah satu laboratorium di Center for Environmental Remote Sensing (CEReS), Chiba University. Setelah memilih berbagai alternative radar yang tepat untuk bidang remote sensing, maka saya pilih synthetic aperture radar (SAR), dimana sensor ini dapat dioperasikan di siang dan malam hari, serta segala cuaca karena dapat menembus awan, asap dan kabut.

Hanya pengembangan SAR sensor ini memerlukan dana yang cukup besar, sehingga pada saat studi di program S3 hanya memusatkan diri pada pengembangan teori, tepatnya hamburan gelombang mikro saja. Pada saat studi di program S3 ini berbagai macam teori hamburan gelombang mikro saya kembangkan berikut penerapannya untuk monitoring lahan gambut, diameter pohon, volume biomass hutan dan lain-lain.

Radar Indonesia bawah tanah pertama, saya sendiri yang membuat. Kemudian mengapa saya suka mengembangkan radar? Sejak usia 5 tahun sering diajak diajak ayah, seorang pelatih Kopasgat di Angkatan Udara. Saya sering ditunjukan radar.

Ayah bercerita kalau radar di Indonesia buatan asing. Ada yang dari Prancis, Inggris dan Amerika Serikat. Kenapa nggak buat sendiri? Saya juga ingin sekali buat pesawat terbang sendiri.

Dari cita-cita itu, radar sudah saya buat. Pesawat tanpa awak juga sudah saya buat, Josaphat Laboratory Experimental Unmanned Aerial Vehicle (JX), dimana UAV pertama diberi nama JX- 1 dan JX- 2. Tahun 2012 saya terbangkan dan terbesar di Asia. Saat itu diterbangkan di lembah Gunung Fuji di Fujikawa Jepang.

Belum ada Komentar untuk "Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, Ilmuan Indonesia Yang Mendunia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel